12.8.12

Perempuanku


Perempuanku




30 hari Ramadhan untuk selamanya
Agustus 09, 2012: Perempuanku



Kini suratku kepadamu mungkin tak pernah ada. Pertanyaanku pun mungkin akan menjadi sesuatu yang sulit kau jawab. Apakah mungkin kau dan aku harus berpisah setelah semua yang kita lalui bersama? Bagaimana mungkin aku menafikan perasaan sendiri dan melipat kenangan ke sudut hati? Bagaimana mungkin harapan yang baru menyala langsung aku matikan begitu saja? Mungkin kamu belum lupa harapan itu terbit ketika pagi baru saja pergi dan siang datang membawa panas waktu itu. Kabut lesap ditelan cahaya. Matahari baru saja memamerkan sinar yang berdenyar-denyar membakar jangat. Aku menggelandang ke timur, menantang matahari. Tanganmu dan jemariku saling bertautan, bertautan bagaikan bintang dan rembulan yang berdekatan di jantung rimba malam.

Sebelum pertemuan di hari yang menggetarkan itu, aku dan kamu tak pernah berpisah lagi. Seperti daun dan ranting. Seperti pelangi dan hujan. Seperti kemarau dan lengas. Bila hati saling bertaut, rindu yang ditabalkan berpendar-pendar. Ceritakanlah kepadaku tentang cinta, aku tak tahu cinta. Aku terdiam, berusaha mengingat sebuah sajak kecil tentang cinta, “mencintai angin harus menjadi suit, mencintai air harus menjadi ricik, mencintai gunung harus menjadi terjal, mencintai api harus menjadi jilat, mencintai cakrawala harus menebas jarak, mencintaimu,, harus menjadi aku…”

Cinta mungkin memang relasi yang tak mudah. Barangkali ia juga bukan sesuatu yang final. Proses? Mungkin. Aku tak pernah merasa pasti. Mengapa aku bertanya tentang cinta? Karena aku tenggelam dalam rindu akan pesonamu. Senyummu hangat. Menenangkanku. Aku jadi takut kehilangan dirimu. Inikah cinta? Aku tak mengerti. Akankah kau meninggalkanku? Aku tak tahu. Siapa yang bisa menebak hatimu. Jalan begitu panjang dan tak lempang di depan. Entah. Siapa yang bisa menebak perasaanmu esok, lusa, dan kelak. Mungkin aku tak akan menangis, tapi hatiku berdarah-darah. Jika kita tak berpisah, kita kan terus berjalan ke timur. Matahari jatuh di barat. Sinarnya menciptakan bayang-bayang. Tapi sampai kapan kita terus berjalan? Sampai kita lelah dan tak lagi mampu mengangkat kaki. Apa kau tau arti dirimu buatku? “Seluruh sisa hidupku.”

Di ujung petang, air mata mendadak jatuh berderai-derai. Angin kencang membuat air keperakan itu berhamburan seperti sapuan kuas pada lukisan cat air. Dan sayup-sayup aku seperti mendengar Sting bersenandung dengan suara lirih, dan aku pun terkapar ditikam sepisau sepi.



Ibu


Ibu




30 hari Ramadhan untuk selamanya
Agustus 06, 2012 : Ibu aku rindu


Sudah lama perpisahan ini
Kubuka kenangan, ada fotomu
Tersenyum abadi masih tersimpan
Tak ingin kubuang
Hanya kau kenapa pilih pergi selamanya
Tak pamit
Tak salam
Tak ada kabar
Masuk dunia baru yang disebut surga,
Fotomu masih tersenyum

Ayah


Ayah




30 hari Ramadhan untuk selamannya
Agustus 02, 2012 : Ayah


Kini malam kian gelap aku rasa di antara rasa rinduku. Bersembunyi di balik bayang-bayang wajah terangmu semakin membuatku gelisah. Ku pejam sejenak mata ini terngiang sedikit syahdu tentangmu, tentang masa yang punah bersama indah. Entah mengapa suara itu terus membisik saat aku sendiri, bisikan terakhir dari kau di sana. Hanya aku sia-siakan waktu, kebodohanku sangat tak berarti. Sungguh semu sosokmu dalam mimpi ku. Malang, kini kau pun pergi.

Bersembunyi di balik tangis langkah ku terhenti. Laknat benar aku ini, sia-siakan kau yang terlahir dalam lembut yang mendidik dengan sempurna. Bukan rindu jika aku merengek dengan sedikit tangis menepis bahwa tak rindukan ini. Apakah kau mengerti apakah ini? rasakan jarak antara kau dan aku.

Rumah


Rumah




30 hari Ramadhan untuk selamanya
Juli 29, 2012 : Rumah


Rumah ini : telaga hidupku
dindingnya dari anyaman pelangi
dan atapnya dari rinai hujan
ruang dalamnya terang oleh pendar cahaya bintang
dan dapurnya hangat oleh sinar matahari
kelak, aku mau rumah ini jadi sebuah album
tempat setiap lembaran kenangan tentang dirimu kusimpan
sampai nanti, sampai mati .





Total Tayangan Halaman