Perempuanku
30 hari Ramadhan untuk selamanya
Agustus 09, 2012: Perempuanku
Kini suratku kepadamu mungkin tak
pernah ada. Pertanyaanku pun mungkin akan menjadi sesuatu yang sulit
kau jawab. Apakah mungkin kau dan aku harus berpisah setelah semua
yang kita lalui bersama? Bagaimana mungkin aku menafikan perasaan
sendiri dan melipat kenangan ke sudut hati? Bagaimana mungkin harapan
yang baru menyala langsung aku matikan begitu saja? Mungkin kamu
belum lupa harapan itu terbit ketika pagi baru saja pergi dan siang
datang membawa panas waktu itu. Kabut lesap ditelan cahaya. Matahari
baru saja memamerkan sinar yang berdenyar-denyar membakar jangat. Aku
menggelandang ke timur, menantang matahari. Tanganmu dan jemariku
saling bertautan, bertautan bagaikan bintang dan rembulan yang
berdekatan di jantung rimba malam.
Sebelum pertemuan di hari yang
menggetarkan itu, aku dan kamu tak pernah berpisah lagi. Seperti daun
dan ranting. Seperti pelangi dan hujan. Seperti kemarau dan lengas.
Bila hati saling bertaut, rindu yang ditabalkan berpendar-pendar.
Ceritakanlah kepadaku tentang cinta, aku tak tahu cinta. Aku terdiam,
berusaha mengingat sebuah sajak kecil tentang cinta, “mencintai
angin harus menjadi suit, mencintai air harus menjadi ricik,
mencintai gunung harus menjadi terjal, mencintai api harus menjadi
jilat, mencintai cakrawala harus menebas jarak, mencintaimu,, harus
menjadi aku…”
Cinta mungkin memang relasi yang tak
mudah. Barangkali ia juga bukan sesuatu yang final. Proses? Mungkin.
Aku tak pernah merasa pasti. Mengapa aku bertanya tentang cinta?
Karena aku tenggelam dalam rindu akan pesonamu. Senyummu hangat.
Menenangkanku. Aku jadi takut kehilangan dirimu. Inikah cinta? Aku
tak mengerti. Akankah kau meninggalkanku? Aku tak tahu. Siapa yang
bisa menebak hatimu. Jalan begitu panjang dan tak lempang di depan.
Entah. Siapa yang bisa menebak perasaanmu esok, lusa, dan kelak.
Mungkin aku tak akan menangis, tapi hatiku berdarah-darah. Jika kita
tak berpisah, kita kan terus berjalan ke timur. Matahari jatuh di
barat. Sinarnya menciptakan bayang-bayang. Tapi sampai kapan kita
terus berjalan? Sampai kita lelah dan tak lagi mampu mengangkat kaki.
Apa kau tau arti dirimu buatku? “Seluruh sisa hidupku.”
Di ujung petang, air mata mendadak
jatuh berderai-derai. Angin kencang membuat air keperakan itu
berhamburan seperti sapuan kuas pada lukisan cat air. Dan sayup-sayup
aku seperti mendengar Sting bersenandung dengan suara lirih, dan aku
pun terkapar ditikam sepisau sepi.