19.1.11

January.19.2011



Dinihari. Dan aku belum juga memejamkan mata. Kenangan tentang dirimu membuat hatiku semak. Menjadikanku selalu terjaga. Seperti yang lalu-lalu. Kenangan itu tercecer di kota kelahiranmu, yg santun. Di Daerah Istimewa yg megah dan sinarnya tak pernah berhenti berkedip. Bahkan hanya beberapa menit ditemani segelas juice dan sepiring siomay di kantin Universitas Negeri kota itu pun selalu menyeret kenanganku padamu. 



Detik-detik berlalu seperti hujan. Sebentar tapi nyaman. Atau nyaman tapi cuma sebentar. Nyaman. Itu yang selalu kurasakan ketika bersama dirimu. Angin selatan yang dingin menampar wajahku. Pedih. Sepedih ingatan tentang dirimu yang pada suatu masa selalu membuatku nyaman. Ingatan tentang pertemuan dan percakapan kita yang diwarnai lelucon gombal seperti itulah yang selalu terpahat dalam ingatanku. Sesekali membuat aku lumpuh. Lalu sesaat berganti keriangan. Bukan percakapan yang penting memang, tapi justru yang seperti itulah yang membuat kita tertawa. Lunglai. Dan bertahan bersama. Kamu tidak takut tidak bahagia. Kamu hanya takut kecewa. Aku menatapmu. Kamu memalingkan wajah. Kamu bayang-bayang yang selalu terbang setiap kali tanganku tinggal sejengkal lagi menggapainya. Kamu dekat, tapi tak tersentuh. Setiap kali mengingatmu yang seperti itu, aku merasa kamu bagaikan postcard masa lalu yang tak pernah terkirim ke alamat manapun. Dan aku hanya bisa menyimpannya dalam laci kenangan.

Aku ingat ketika kita berdua berada dalam satu rumah. Aku bahkan belum lupa pada pelukanmu yang hangat ketika kita berdua berada di tempat itu. Gerimis jatuh waktu itu. Airnya meleleh di jendela. Membuatnya berembun. Dan keberadaanmu pun menghangatkanku. Pernah aku melewati tempat itu tanpa dirimu. Sendiri menatap susunan beton yang merangkai bangunan itu. Aku seperti terlempar ke masa silam. Pada masa-masa ketika kita sering bersama. Tapi tak ada lagi angin yang menerbangkan rambut hitammu yang panjang dan wangi ke mukaku, seperti tanganmu yang kerap membelai wajahku. Tak ada lagi cekikan jahilmu menyela acara makan kita.

Tanpa dirimu di sampingku, lanskap siang itu mendadak berubah bagaikan lukisan Landscape with Good Samaritan Rembrandt yang kelam. Sejak kita berpisah, hidup tak pernah sama lagi. Seperti ketika Hong Kong diserahkan dari Inggris ke tangan pemerintah Cina. Bukit-bukit cinta di hatiku pun tentu saja masih ada dan berdiri kokoh seperti perbukitan Tai Mo Shan di New Territories. Tapi tak ada lagi yang membuat rumput menghijau dan kembang bersemi begitu kau pergi. Dan saat itulah aku meranggas di malam-malam musim panas. Berjuang sendiri meringkus sunyi.

Kamu adalah gagasan yang selalu baru. Kamu seperti matahari pagi. Selalu menghangatkan embun yang bangun setelah dinihari. Berdua, bersamamu, sepanjang waktu, tentu saja anugerah terindah hidupku. Seperti matahari bagi bumi. Hujan bagi musim panas yang lengas. Kau akan jadi gula bagi kopi pahitku. Kamu jauh lebih berharga dari apa pun. Dan layak diperjuangkan dengan cara apa pun. Aku mendapatkan kesan itu setelah nyaris setiap malam menggelandang bersama bintang-bintang. Sekian purnama setelah kau pergi di pagi yang basah waktu itu. Ya, tentu saja aku masih mengingat dengan sempurna setiap detail adegan yang membuat hatiku seperti dirajam sembilu. 

Nyaman. Itu yang selalu kurasakan ketika bersama dirimu. Dan sekarang aku kehilangan kenyamanan itu. 







Aku mentari tapi tak menghangatkanmu
Aku pelangi tapi tak memberi warna di hidupmu …



Kita pernah ada
Di satu masa bersama
Walau kini tak sama
Jangan lupakan indahnya …













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman